Gemericik
hujan mulai membasahi tanah Yogyakarta yang telah berhari-hari tertutupi abu
hasil letusan gunung Kelud. Sore itu, Sendowo (Sleman, Yogyakarta) rumah bagi
para mahasiswa yang memilih untuk tinggal dalam sebuah indekos ataupun
menyewa rumah bersama teman-temannya tak ketinggalan diterpa gemericik hujan
dengan suasana yang mampu membuat perut ini terasa lapar. Jika sudah begini,
salah satu tempat makan yang akan menjadi sasaran mereka tentu saja, Burjo.
Sebenarnya, Burjo merupakan
singkatan dari bubur kacang ijo, yakni sebuah makanan. Rumah makan tersebut
diberi nama demikian karena menyediakan bubur kacang ijo. Tak hanya itu saja,
warung burjo juga menyediakan berbagai jenis makanan seperti nasi telur, nasi
ikan, nasi ayam, mi instan telur, soto ayam, berbagai macam sayur, berbagai
macam gorengan, berbagai macam jajanan dan juga berbagai jenis minuman, yang
tentunya para mahasiswa tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam, sebab harganya
adalah harga mahasiswa. Untuk satu porsi nasi telur saja, cukup membayar Rp.
5.500,-.
Ada yang menarik dari warung burjo,
kebanyakan menu makanan kesukaan para mahasiswa ini justru bukanlah bubur
kacang ijo itu sendiri, melainkan menu-menu lain terutama nasi telur, pun di
warung burjo Sendowo ini. Rata-rata penjual di warung burjo merupakan orang
Sunda atau orang yang berasal dari pulau Jawa bagian barat, karena memang
sejarah mengatakan bahwa pertama kali yang membuat warung burjo di Yogyakarta
adalah orang Kuningan yang turun temurun hingga sekarang, namun bukan orang
Kuningan saja yang berjualan di warung burjo, ada cukup banyak orang Banjar
yang ikut berjualan di warung burjo, seperti di warung burjo Blimbingsari.
Seorang pria berparas Sunda terlihat
sedang menyiapkan makanan yang dipesan para pembelinya. Di tempat dengan
tembok-tembok dan sekat-sekat sederhana yang memisahkan antara dapur, tempat
duduk para pembeli, seorang mahasiswa semester 2 tengah berkisah tentang ejekan
teman-temannya kepada seorang teman di sampingnya, “Saya kalau di kampus selalu
dibilang, ‘A, nastel, es teh satu’”, katanya dalam logat Sunda yang kental.
Memang, paradigma orang Sunda yang selalu dikaitkan dengan burjo sudah sangat
melekat di Yogyakarta. Tak heran, para mahasiswa yang berdarah Sunda terkadang
selalu menjadi bahan ejekan burjo. Tentu ini tidaklah serius, hanya untuk
mencairkan suasana.
Jauh dari keluarga merupakan hal
yang sudah terbiasa yang dilakukan pria berparas Sunda yang tadi menyiapkan
makanan yang dipesan para pembelinya, yang bernama Pak Asep, baginya bersama
teman-teman Sunda yang sama-sama membangun burjo di sini sudah cukup menjadi
pengobat rasa rindunya akan kampung halamannya, Kuningan, Jawa Barat. Ia sudah
berprofesi selama lebih dari puluhan tahun menjalankan bisnis burjo di
Yogyakarta. Ia adalah orang kesekian, yang pernah menjadi penjual di warung
burjo Sendowo, sebab biasanya, dia akan bergiliran dengan teman-temannya dari
satu burjo ke burjo lain yang kebetulan burjo-burjo tersebut masih satu
kekeluargaan. Menariknya lagi, tambahnya, justru di daerah Jawa Barat sendiri, tempat
lahirnya para pembisnis burjo, tidak ada yang namanya warung burjo, di Jawa
Barat malah menjamur warung-warung Tegal atau yang disingkat Warteg.
Warteg tak ubahnya seperti warung
makan pada umumnya, bedanya dengan burjo, tentu warteg tidak menyediakan bubur
kacang ijo, juga menu makanannya sedikit lebih beragam daripada warung burjo
karena pasaran wartegpun biasanya orang-orang dewasa yang sudah bekerja.
Setelah perut merasa kenyang dan
hujan mulai reda, satu per satu para mahasiswa penggemar warung burjo mulai
berhamburan keluar meninggalkan salah satu lokasi kesukaan mereka untuk
berinteraksi dan bercengkrama dengan sesama kembali ke indekos mereka masing-masing.
Dengan terkenalnya Yogyakarta sebagi kota pelajar, maka dapat dipastikan
burjo akan tetap ada di Yogyakarta sampai berpuluh-puluh tahun ke depan dan
tentunya semoga dengan inovasi-inovasi terbaru yang mampu dihasilkan warung
burjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar