Selasa, 03 November 2015

Filipino-Thai and The Magic in Between (A Review to 'Suddenly it's Magic' Movie)

Oi Todos!

Glad to be home! Well, last time I checked, my latest post was in the beginning of this year and now I’m writing close enough to the end of this year, what a co-incidence! So, tonight, I was done watching a movie called “Suddenly it’s magic!”. What’s the magic, then? Well, it’s not just a movie; it’s a Filipino-Thai movie, two countries, two cultures. These two countries are my favorites of the others Southeast Asian Countries. And how can I be happier when your favorite’s two cultures blend in one movie? Yes, you will watch it watch it over and over again! Just like I did!

So, let’s get started!

Poster Suddenly It's Magic
Pertama, mari kita mulai dengan apa yang ada di balik pembuatan film “Suddenly it’s magic” ini. Ya, adalah kesuksesan film “Crazy little thing called love” (2010) yang dibintangi oleh Mario Maurer, actor Thailand berdarah Jerman dengan lawan mainnya Baifern Phimchanok yang namanya langsung melejit setelah mengambil peran “Nam” dalam film tersebut. Film tersebut mendapat tempat special di hati para penikmat film di Filipina, sehingga film ini ditayangkan berkali-kali.

Kedua, melihat potensi ini, Star Cinema Production, sebuah perusahaan produksi film di Filipina mengambil langkah untuk membuat sebuah film yang akan diperankan oleh Mario (Marcus) dan juga Baifern (Srita), dengan membawa Erich Gonzales (Josephine 'Joey') sebagai lawan mainnya. Dan ini adalah film Filipino-Thai pertama yang melibatkan seluruh komposisi tim dari kedua negara bersangkutan.

Ketiga, adalah Rory Quintos, seorang sutradara ternama jagoannya Star Cinema, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menyutradai film-film dan juga telenovela yang diproduksi oleh Star Cinema, telah berkerjasama sejak tahun 1994 sampai sekarang, beberapa telenovela arahannya bahkan melejit seperti “Pangako Sa’Yo”. Berkat arahannya pula lah, adegan-adegan yang ada di film “Suddenly it’s magic” berhasil membuat terenyuh, apalagi dengan latar belakang perbedaan budaya, membuat film ini memberikan pesan tersirat yang mendalam.

Erich Gonzales
Keempat, Mario Maurer & Baifern. Nampaknya, untuk masyarakat di Indonesia sendiri, terutama bagi mereka penikmat film-film Thailand, sudah tidak asing lagi dengan 2 nama tersebut. Adalah Mario yang melejit setelah memerankan tokoh “Tong” yang menyukai teman sejenisnya di masa kecil dalam film pertamanya “The Love of Siam” (2007) dan Baifern dengan “Nam” di tahun 2010 dalam “Crazy little thing called love”.

Lalu, bagaimana dengan Erich Gonzales? Pemeran wanita utama dalam “Suddenly it’s Magic” ini adalah Philippines Box Office’s Queen yang sudah banyak memboyong berbagai penghargaan. Adalah telenovela “Katorse” dan “Maria la del Barrio” (versi adaptasi dari telenovela Mexico) yang melejitkan namanya. Tak ayal, gadis berdarah Latin-Asia ini dikontrak oleh Star Cinema yang telah melibatkannya dalam puluhan telenovela dan film sejak tahun 2004.

Joey (Katholik) & Marcus (Buddha) di sebuah gereja tua di Ilocos, Filipina
Kelima, adalah multikulturalisme yang ditawarkan dalam film “Suddenly it’s magic”, membuat Mario harus mempelajari bahasa Tagalog begitu juga sebaliknya, Erich yang mempelajari bahasa Thailand. Terdapat banyak dialog dari kedua bahasa tersebut yang memperkaya isi cerita. Agama juga menjadi warna dalam film ini, di mana Thailand dengan mayoritas Buddha dan Filipina dengan mayoritas Katolik Roma tergambar dalam film ini, di mana Marcus berdo’a kepada alam semesta sedangkan Joey kepada Yesus lalu mereka saling mengajarkan satu sama lain. Selain itu, Thailand dengan budaya Kathoey, atau ladyboynya juga tidak dapat dipisahkan, terdapat satu tokoh ladyboy yang cukup penting dalam film ini, begitu juga Filipina yang menghadirkan pemeran pembantu pria yang memiliki sikap kewanita-wanitaan, kabarnya komunitas LGBT terbesar di ASEAN memang berada di 2 negara ini.

Joey & Marcus
dengan latar berarsitektur Spanyol
Selain itu, aroma peninggalan bangsa Spanyol di Filipina sangat terasa di film ini, dari mulai arsitektur, design interior, wajah para pemeran, budaya hingga bahasa. Namun, karena Filipina merupakan keturunan Austronesia, maka beberapa kata dalam bahasanya dan juga budayanya berbagi kemiripan dengan Indonesia, berbeda dengan Thailand yang merupakan keturunan keluarga Sino-Tibet, meskipun bahasa Thailand dan Indonesia sama-sama menyerap banyak kata dari bahasa Sanskrit.

Terakhir, pesan moral dari film ini sangatlah sederhana namun mengena, “Just follow your heart, your destiny and see the magic happened!”

Semoga kedepan, Indonesia juga bisa bekerjasama dengan negara-negara ASEAN dalam pembuatan film yang berkualitas, tidak hanya numpang lokasinya saja, namun juga melibatkan seluruh komposisi tim dari dua negara. Film Indo-Thai maybe? Why not?.
We’re ASEAN. #ASEANPRIDE

Sources:

Jumat, 09 Januari 2015

Algun Día, Estaré Yo en Chile (Parte 1)

Gigante de la Mano de Antofagasta, Chile

Tahun 2014 telah usai, kini saatnya aku menyongsong tahun 2015. Namun satu hal, ada yang berbeda dari tahun 2014. Ya tahun yang benar-benar jadi tahun harapanku saat itu, bagaimana tidak?, di tahun itulah aku nyaris membuat impianku yang selama ini aku visualisasikan menjadi kenyataan. Aku mungkin lupa detik per detiknya, namun yang jelas, tahun 2014 benar-benar tak bisa kulupakan.

Baiklah, aku mungkin saja lupa bagaimana semua ini berawal, bulannya.. tanggalnya.. Namun, yang saat ini ada dalam pikiranku adalah sesosok manusia yang sebenarnya wujudnya tak bisa kubayangkan sama sekali. Gelap, kosong, aargh! nampaknya aku benar-benar lupa siapa orang ini sebenarnya. Namun, orang tanpa nama ini, dialah yang datang membawa surat penawaran membuka stand bagi mahasiswa D3 Bahasa Prancis UGM di acara Global Village yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh AIESEC UGM.

Sejak menerima surat itu, aku berpikir bahwa ini adalah kesempatan pendekar tongkat emas untuk bisa menambah informasi.

“Siapa tahu nambah informasi atau apa kek gitu biar bisa ke luar negeri, seru ini acara dunia-dunia gitu ning,” seruku dengan semangat kepada seorang kawan bernama Nila Ratna Sari, sang putri Banten dari Serang hahaha, dia adalah sekertaris Himpunan Mahasiswa Jurusan kami, yakni IMF, (banyak duit dong? Mungkin).

“Wah coba lu tanya ke duwil deh, doski kan yang ngurus bagian beginian, bil,” tandasnya seraya menambah imbuhan –l di belakang nama seseorang khas kelas kami, selain memang kami hobi memanggil nama orang 2x, kami juga punya kelainan mendengungkan, meng-ikhfa dan meng-idgham-kan nama orang dengan menambah imbuhan –l dan –ng di belakang nama tersebut, maklum prodi prancis.

Keesokan harinya, akupun langsung melaporkan hal ini kepada Dwi Ari Murti, putri Solo. Meskipun bukan keturunan asli keluarga pewaris Kerajaan Mataram, namun hatinya mulia layaknya Juliet yang hingga saat ini masih menanti Romeo (baca; Jomblo – eh jomblo gak ya si Dwi? Lupa gue haha) sehingga iapun menyetujui untuk bergabung di Global Village diikuti anggukan kepala dari sang Maharaja Rifqi Abdillah sebagai Putra Bantul (sumpah yang ini gak enak banget haha no offense :D) sekaligus ketua IMF pada saat itu.

The journey is just begun..


Mbak Hanum Rais just stopped by, feel honoured :)

Hari H Global Village, aku hanya bermodalkan keinginan untuk mendapatkan informasi ataupun sekedar kepo akan pengalaman anak-anak AIESEC yang asyik berpetualang ria di tanah orang yang memang menjadi bagian dan salah satu daya tarik acara ini selain tentunya Global Village menghadirkan salah satu pembicara kondang, pak Rangga Almahendra yang bukunya sudah kumiliki dan kubaca sampai berbekas dari tahun 2011, sang istrinya pun tak lupa meninggalkan komen di akun instagramku (ebizombie *promo) di bawah foto buku “99 Cahaya di Langit Eropa” hasil jepretan isengku, #kamerahpgw kalau orang-orang bilang. Namun ternyata, apa yang aku niatkan di sana semuanya jauh di luar ekspektasiku.


Bersambung..

***

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui." (Q.S Al-baqarah : 216)