Kamis, 18 Desember 2014

Imigrasi dan Cerita Kata Orang

Hello, Kawan!

Jadi begini, kalau dihitung-hitung sejak postingan terakhirku tertanggal 20 Maret 2014 berarti sudah 8 bulan diriku tidak menulis di blog tercinta ini, kalau ditambah satu bulan lagi, artinya udah lahiran dong, heu *keringetbasah*. Nah, karena diriku sedang tidak sibuk (sebenarnya cuman sok sibuk seh, haha) sekarang saatnya diriku menghantui dunia perblogan lagi *tiupterompet*. Well, niatnya hari ini mau posting tentang perjuangan diriku yang ingin meniti karir di luar negeri melalui AIESEC, siapa tahu ada yang bisa mengambil pelajaran dari hal tersebut, tapi setelah tadi (barusan banget) buka-buka folder blog, eh ternyata masih ada tulisan yang (masih) belum sempat terpublish, dan itu tulisannya baru sepotong (mana sok sok mau dibikin episode sesuai nama blog lagi LOL) dan sampai akhirnya pas dibaca lagi, sungguh benar-benar sudah lupa sama kejadian lanjutannya hahaha aseem.. OK, coba neh lihat sendiri deh..

***



Halo kawan, apa kabar? Udah lama banget gak posting-posting ya, biasa sibuk mencari jodoh *eh

Ngomong-ngomong hari ini gue bakalan bahas hmm sebentar bukannya mau ngikutin orang-orang seh, cuman penasaran aja, ternyata yang ditulisin orang itu agak kejadian juga sama gue, haha, jadinya kalau gak gue posting gak seru juga. Yup, jadi sekarang gue bakalan ceritain detik-detik – reka ulang (udah kek proklamasi *_*) saat-saat gue bikin paspor *ehem *benerindasi*

Nah, pertama-tama yang lu butuhin adalah:

Dokumen-dokumen resmi, seperti;
1. Kartu Keluarga
2. Akta Kelahiran/Ijazah/Surat Nikah, yang ini lu tinggal pilih aja, tapi jangan pake surat nikah bonyok lu ya *_* hahaha. 

Lalu, berhubung dokumen-dokumen bersejarah itu ada di Bandung, dengan berat hati gue langsung sms sang bunda tercinta buat kirim dokumennya ke Yogya, walhasil gue tiap detik berdoa agar tuh dokumen selamet sampe ke tangan gue, bayangin aja itu bersejarah bangeeet, hahahaha eh tapi serius deh, kalau sampe ilang kan berabe. Btw, gue milihnya Akta Kelahiran pada saat itu, biar gak ada fotonya, males gue foto yang di ijazah wkwkkw, apalagi surat nikah, please itu gue nikahnya nikah siri jadi kagak pake surat *curcol

Back to the topic, akhirnya itu dokumen sampe ke tangan gue dengan sehat wal ‘afiat, ya meskipun agak meninggalkan bekas, ya wajar lah ya, tuh dokumen harus bepergian jauh, gak makan, gak istirahat, terharu gue *meneteskanairmata*. Eh, special mention buat Tia yang sudah sudi rumahnya dijadikan titik mendarat dokumen gue, nothing compares buat Tia *kasihpialacitra*.

Nah, gue emang niat awalnya adalah langsung via online aja untuk mengajukan permohonan paspor, so, next step you’re gonna do is: Scan Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, KTP, udah gitu resize, jangan sampe kegedean, jangan sampe kekecilan, udah gitu di black and white aja. Kemaren seh gue bacanya greyscale gitu, tapi bodo amat deh, black & white gak jauh-jauh amat sama greyscale *evillaugh*. Dan BOOM! Ternyata gagal, itu gue ngisi online hari senin gitu, emang harus agak sabar ya, soalnya sistemnya terkadang request time out gitu. Besoknya, gue daftar online lagi, dan BOOM! BERHASIL! *nyanyiDora*. Btw, masa bersabar: 24 jam. Jadi, harus sabar ya nantinya kalau request time out.

Voila, di situ tertulis (gue yang milih seh haha) bahwa gue harus datang ke imigrasi hari Rabu, dan astagfirullahnya gue baru tau tenyata sebelum ke imigrasi harus bayar via teller dulu di BNI *bukaniklan* sebesar Rp. 260.000 total.

Duh, bank udah tutup neh udah malem begini. Pikir gue pada saat itu.

Tapi tenang, buat elu yang nasibnya pengen sama kayak gue buat bagian ini. Di bukti permohonan, tertulis bahwa “Keterlambatan maksimal 7 hari terhitung sejak pembayaran, lewat dari 7 hari, pembayaran dan permohonan hangus”. Fyuuuh, *ngelapkeringetdidahisambilhandukan*. Akhirnya gue bayar hari rabu dan ke imigrasi hari jum’at, soalnya waktu itu banyak banget harpitnas, jadinya gak bisa hari Kamis deh. Nah, selanjutnya, gue mengalami kejadian yang lebih kocak lagi di imigrasi *ceritanyabersambung*

***

Nah kan, sampai sekarang diriku bingung harus melanjutkan kisahnya bagaimana, asli sudah lupa detailnya heuheu, mana sok-sok pake "gue" lagi dan sok sok ngelucu -_- tapi yang jelas, diriku tekankan sekali lagi kalau di Imigrasi pasti setidaknya kita bakal mengalami kejadian konyol yang tidak akan pernah kita lupakan, kayak iklan sosis so nice (meskipun kalau disuruh nulis bakal lupa detailnya haha) dan ya, ternyata itu bukan cerita kata orang semata :) So, selamat bikin Paspor! Selamat berhijrah!

***

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat memahami atau memiliki telinga yang dengannya itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." (Q.S Al-Hajj : 46)

"Perjalanan wisata memiliki dampak yang sangat besar dalam rangka menyempurnakan jiwa manusia. Dengan melakukan perjalanan, ia mungkin mendapat kesulitan dan dalam kondisi itu, ia dapat mendidik jiwanya untuk bersabar. Mungkin juga ia menemui orang-orang terkemuka, sehingga ia dapat mendapatkan sesuatu dari mereka hal-hal yang tidak dimilikinya. Selain itu, ia juga dapat menyaksikan aneka ragam perbedaan ciptaan Allah. Maka, perjalanan wisata memiliki dampak yang kuat dalam kehidupan beragama seseorang." Fakhruddin Al-Raziy (1149-1209)

Kamis, 20 Maret 2014

Maka, Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan?

            Ddddrrrttttttt… dddddddddrrrttt.. dddrrrrtttt…
Hpku bergetar di dalam saku celana. Penasaran, akhirnya kuambil hpku dan kubuka pesan yang ada di baliknya.
Febri, bisa ke prodi sebentar?, suara Madame Rina terngiang dalam benakku saat kubaca pesan yang datang darinya.
Wah, gawat jangan-jangan hasil terjemahan kemarin banyak yang salah, rasa pesimis berhasil mencapai garis finish dan sekarang mencuat menguasai pikiranku di saat yang bersamaan saat tiba giliranku melakukan presentasi.

*          *          *          

Kamis, satu minggu yang lalu, seperti biasa, kujalani hari dengan melangkahkan kaki menuju kampus Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Kampus tempatku melewati waktu, menapaki jalan menuju impian. Dengan semangat, aku membuka pintu ruang SV-107 untuk mengikuti kuliah di jam pertama hari itu, apa lagi kalau bukan mata kuliah Newstainment.
Hari itu, aku berserta kelompokku, harus melakukan presentasi mengenai kampung wisata yang hendak kami jadikan objek untuk membuat sebuah film dokumenter dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah tersebut.
Dipowinatan dan Kadipaten adalah 2 dari sekian banyak kampung wisata yang ada di wilayah Kota Yogyakarta. Kedua kampung wisata tersebut memiliki karakter masing-masing, namun memiliki persamaan yakni sama-sama menunjukkan keaslian. Bedanya, Kadipaten menawarkan paket wisata art and heritage tourism sedangkan Dipowinatan lebih menunjukkan wisata rumah kampung, aktifitas kampung termasuk festival dan permainan anaknya. Keduanya sangatlah menarik, namun jika aku harus memilih, hatiku terpikat oleh Dipowinatan, sebab mereka menawarkan hal yang sangat jarang aku temui di Yogyakarta ini. Meskipun aku merupakan suku Sunda yang banyak orang menganggap memilki kedekatan dengan suku Jawa, tapi aku sangat sangat yakin, perbedaan di antara kami sangatlah luas, entah secara filosophis, sosiologis ataupun adat istiadat.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al-hujuraat : 13)

*          *          *       
   
            Aku menaiki tangga menuju lantai 2 tempat ruang prodiku berada. Telah menunggu di sana Madame Rina dan Monsieur Risky. Kulangkahkan kaki dengan pasti meski aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Beberapa menit kemudian akhirnya aku tahu jawabannya, dan ternyata semua pikiranku salah. Aku mendapatkan (lagi) beberapa berita tertulis yang sudah dicetak dalam bentuk kertas yang setelah kubuka setiap lembarannya, semuanya berjumlah 6 halaman. Karena sedang menjalankan banyak pekerjaan, Mme Rina memintaku untuk membantunya mengalihbahasakan berita-berita dari Pemerintah Kota Bantul ke dalam bahasa Prancis, kali ini cukup 4 berita saja, setelah sebelumnya aku menerjemahkan 6 berita.
           Alhamdulillah, aku sangat bersyukur sekali, aku benar-benar memandangnya sebagai sebuah amanah, anugerah dan nikmat alih-alih beban. Dari sana, aku bisa belajar dan mengasah serta menguji kemampuanku dalam berbahasa Prancis, sungguh sebuah peluang yang sangat besar bagiku. Subhanallah, Allah memang Maha Menempati Janji.
           "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S Ibrahim : 7)

Kupenuhi amanah itu dan kujalani dengan ikhlas seraya berucap bismillahirrahmanirrahim.

“Ya Tuhanku, Ilhamkanlah kepadaku untuk aku mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridha’i dan perbaikilah diriku pada keluargaku, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S Al-ahqaf : 15)

Minggu, 16 Maret 2014

Seni Seviyorum

       Mendapatkan kenikmatan seperti waktu luang dan juga kesehatan merupakan anugerah dari Sang Pencipta yang tak ternilai harganya bagi seorang manusia, meskipun kebanyakan dari kita akan terpedaya oleh karenanya.
Rasulullah SAW bersadba, “Ada dua buah kenikmatan yang kebanyakan orang terpedaya karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas RA).
Merasakan berbagai macam rasa sakit dari mulai meriang, demam, hingga infeksi radang tenggorokan membuatku sadar betapa indahnya nikmat sehat itu dan betapa tak pandainya diriku sebagai seorang hamba untuk bersyukur atas hal itu. Astagfirullah.
Allah SWT berfirman, “…. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Q.S Saba’:13)
Tepat tanggal 1 Maret 2014, aku mengikuti pertemuan 2 mingguan Polyglot Indonesia Chapter Yogyakarta, alhamdulillah Allah telah mengangkat semua rasa sakit yang aku rasakan, meskipun aku masih dalam tahap pemulihan, aku tetap memutuskan untuk bergabung pada acara malam itu, bagaimana tidak? Ini adalah duniaku.

Sesi Foto Meet-up 1 Maret 2014

Hari itu pertemuan diselenggarakan di Jogja Paradise Jl. Magelang, Yogyakarta. Malam itu, seperti biasa, banyak sekali para peminat bahasa yang datang mengikuti pertemuan, namun kali ini ada beberapa wajah baru yang baru saja bergabung untuk pertama kalinya pada malam itu, pada saat itulah aku bertemu mbak Elsa (Sekarang aku memanggilnya ‘Ablam’), dia adalah seorang alumnus Hubungan International Universitas Padjadjaran yang berasal dari Banda Aceh, dan dia sedang mempelajari bahasa Turki. Well, Turki? Wah keren juga, tapi ya biasa seh, gak terlalu tertarik, pikirku dalam benak, saat itu.
“Iya, aku belajar bahasa Turki, dari kakakku, kakakku lulusan sastra Inggris UNPAD, dia pernah ke Turki gitu ngajar, keren banget, di sini ada yang bisa bahasa Turki gak ya?” katanya dengan penuh ekspresi.
Seni seviyorum (Aku mencintaimu).” Celetukku dalam bahasa Turki, hanya kalimat itu saja yang aku tahu dari bahasa tersebut.
“Waaaahhh, kamu bisa? Eh ayo belajar bahasa Turki.” Balasnya antusias.
Tak lama setelah itu akhirnya aku diajarkan pengucapan bahasa Turki, dan kata-kata Turki dasar olehnya, dan entah mengapa sekarang aku berpikir 360° berbanding terbalik. Turki sungguh bahasa yang begitu cantik!. Sejak saat itu, timbul dorongan yang sama saat aku mempelajari bahasa Spanyol dan Prancis untuk pertama kalinya.  Subhanallah walhamdulilah sepertinya aku harus mempelajari bahasa yang bangsanya telah membebaskan Konstantinopel berabad-abad yang lalu ini. Ya, aku sudah memutuskannya. J

                    Ortaköy

Learn a foreign language will open a window to the world –anonymous
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al-hujuraat : 13)

Kamis, 06 Maret 2014

Warung Burjo, Primadona Yogyakarta

            Gemericik hujan mulai membasahi tanah Yogyakarta yang telah berhari-hari tertutupi abu hasil letusan gunung Kelud. Sore itu, Sendowo (Sleman, Yogyakarta) rumah bagi para mahasiswa yang memilih untuk tinggal dalam sebuah indekos ataupun menyewa rumah bersama teman-temannya tak ketinggalan diterpa gemericik hujan dengan suasana yang mampu membuat perut ini terasa lapar. Jika sudah begini, salah satu tempat makan yang akan menjadi sasaran mereka tentu saja, Burjo.


            Sebenarnya, Burjo merupakan singkatan dari bubur kacang ijo, yakni sebuah makanan. Rumah makan tersebut diberi nama demikian karena menyediakan bubur kacang ijo. Tak hanya itu saja, warung burjo juga menyediakan berbagai jenis makanan seperti nasi telur, nasi ikan, nasi ayam, mi instan telur, soto ayam, berbagai macam sayur, berbagai macam gorengan, berbagai macam jajanan dan juga berbagai jenis minuman, yang tentunya para mahasiswa tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam, sebab harganya adalah harga mahasiswa. Untuk satu porsi nasi telur saja, cukup membayar Rp. 5.500,-.


            Ada yang menarik dari warung burjo, kebanyakan menu makanan kesukaan para mahasiswa ini justru bukanlah bubur kacang ijo itu sendiri, melainkan menu-menu lain terutama nasi telur, pun di warung burjo Sendowo ini. Rata-rata penjual di warung burjo merupakan orang Sunda atau orang yang berasal dari pulau Jawa bagian barat, karena memang sejarah mengatakan bahwa pertama kali yang membuat warung burjo di Yogyakarta adalah orang Kuningan yang turun temurun hingga sekarang, namun bukan orang Kuningan saja yang berjualan di warung burjo, ada cukup banyak orang Banjar yang ikut berjualan di warung burjo, seperti di warung burjo Blimbingsari.
            Seorang pria berparas Sunda terlihat sedang menyiapkan makanan yang dipesan para pembelinya. Di tempat dengan tembok-tembok dan sekat-sekat sederhana yang memisahkan antara dapur, tempat duduk para pembeli, seorang mahasiswa semester 2 tengah berkisah tentang ejekan teman-temannya kepada seorang teman di sampingnya, “Saya kalau di kampus selalu dibilang, ‘A, nastel, es teh satu’”, katanya dalam logat Sunda yang kental. Memang, paradigma orang Sunda yang selalu dikaitkan dengan burjo sudah sangat melekat di Yogyakarta. Tak heran, para mahasiswa yang berdarah Sunda terkadang selalu menjadi bahan ejekan burjo. Tentu ini tidaklah serius, hanya untuk mencairkan suasana.


            Jauh dari keluarga merupakan hal yang sudah terbiasa yang dilakukan pria berparas Sunda yang tadi menyiapkan makanan yang dipesan para pembelinya, yang bernama Pak Asep, baginya bersama teman-teman Sunda yang sama-sama membangun burjo di sini sudah cukup menjadi pengobat rasa rindunya akan kampung halamannya, Kuningan, Jawa Barat. Ia sudah berprofesi selama lebih dari puluhan tahun menjalankan bisnis burjo di Yogyakarta. Ia adalah orang kesekian, yang pernah menjadi penjual di warung burjo Sendowo, sebab biasanya, dia akan bergiliran dengan teman-temannya dari satu burjo ke burjo lain yang kebetulan burjo-burjo tersebut masih satu kekeluargaan. Menariknya lagi, tambahnya, justru di daerah Jawa Barat sendiri, tempat lahirnya para pembisnis burjo, tidak ada yang namanya warung burjo, di Jawa Barat malah menjamur warung-warung Tegal atau yang disingkat Warteg.
            Warteg tak ubahnya seperti warung makan pada umumnya, bedanya dengan burjo, tentu warteg tidak menyediakan bubur kacang ijo, juga menu makanannya sedikit lebih beragam daripada warung burjo karena pasaran wartegpun biasanya orang-orang dewasa yang sudah bekerja.
           Setelah perut merasa kenyang dan hujan mulai reda, satu per satu para mahasiswa penggemar warung burjo mulai berhamburan keluar meninggalkan salah satu lokasi kesukaan mereka untuk berinteraksi dan bercengkrama dengan sesama kembali ke indekos mereka masing-masing. Dengan terkenalnya Yogyakarta sebagi kota pelajar, maka dapat dipastikan burjo akan tetap ada di Yogyakarta sampai berpuluh-puluh tahun ke depan dan tentunya semoga dengan inovasi-inovasi terbaru yang mampu dihasilkan warung burjo.